Pagi
itu, Rabu
(22/10/14) pukul 08.30 WIB,
Saya dan teman-teman mahasiswa PGSD Unsri angkatan 2014 bersama-sama berangkat ke Museum Bala Putra Dewa Palembang yang bertujuan memenuhi salah satu tugas mata kuliah kami, Ips. Sekitar pukul 09.00 wib. Memasuki pintu
depan museum Bala Putra Dewa,
kami langsung disuguhi dengan relief kehidupan masyarakat Palembang. Kami
memulai penjelajahan kami di dalam museum dengan didampingi seorang Bapak yang
berkerja sebagai karyawan museum.
Awalnya
kami dikenalkan dahulu tentang sejarah singkat berdirinya Museum Bala Putra
Dewa, museum ini dibangun pada tahun 1977 dengan arsitektur tradisional
Palembang dan diresmikan pada tanggal 5 Nopember 1984. Pada mulanya museum ini
bernama museum Negeri Propinsi sumatera Selatan, selanjutnya berdasarkan SK.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 4 April 1990, Museum ini diberi nama
Museum Negeri Propinsi Sumatera Selatan "Bala Putra Dewa" Nama Bala
Putra Dewa itu sendiri berasal dari nama seorang raja Sriwijaya yang memerintah
pada abad VIII-IX yang mencapai kerajaan maritim.
Di
Museum ini terdapat koleksi-koleksi yang menggambarkan corak ragam kebudayaan
dan alam Sumatera Selatan. koleksinya terdiri dari berbagai benda histografi,
etnografi, felologi, arca, keramik, teknologi modern, seni rupa dan fauna serta
geologi.
Kemudian,
kami diceritakan tentang arti relief yang berada di depan museum tersebut.
Relief tersebut ternyata menceritakan ada putri Palembang sedang menari Gending
Sriwijaya yaitu tarian khas Palembang yang sering ditampilkan untuk menyambut
tamu, tari Gending Sriwijaya sendiri pertama kali diperkenalkan pada 12 Agustus
1945. Kemudian pada relief ada pula rumah bari yaitu rumah lama khas
Palembang. Ada pula gambar rumah Limas yaitu rumah adat Palembang dimana
di atasnya ada ornament tanduk kambing. Digambarkan pula pada relief
tersebut orang yang sedang bertenun songket. Kemudian dari gambar relief
membahas pula daerah Palembang dahulu karena Palembang dulu banyak terdapat
rawa, sehingga rakyatnya membuat rumah
panggung agar bisa tinggal di atas rawa.
Lalu
ada juga sungai musi yaitu sarana transportasi utama di Palembang. Di
gambarkan juga Jembatan Ampera yang dibangun oleh bantuan Jepang tahun 1963 dan
selesai pada tahun 1965, jembatan Ampera sendiri memiliki panjang 1717
meter. Dari gambar relief tersebut diceritakan pula bahwa dahulu di
Palembang terdapat banyak sekali sungai, diperkirakan di Palembang dahulu
terdapat 117 Sungai tapi sekarang hanya tinggal 17 sungai yang masih mengalir,
oleh karena itulah Belanda memberi julukan pada Palembang sebagai Venesia dari
Timur Jauh.
Museum Balaputra dewa
memiliki sekitar 3580 buah koleksi yang terdiri dari barang-barang tradisional
Palembang, binatang awetan dari berbagai daerah di Sumatera Selatan, beberapa
miniature rumah pedalaman, replica prasasti dan arca kuno yang pernah ditemukan
di Bukit Siguntang, batu-batu ukir raksasa dari jaman Megalitikum, dan masih
banyak lagi.
Setelah
pengenalan museum, kami diajak keliling museum, pertama-tama kami dikenalkan
dengan arca-arca pada masa megalitikum. Kebudayaan Megalith atau kebudayaan
batu besar di Sumatera Selatan, berada di dataran tinggi Pasemah yang posisinya
masih satu rangkaian dengan Pegunungan Bukit Barisan di sisi barat Sumatera.
Arca
Megalitith di situs-situs Pasemah, sesuai wujud perupaannya dapat dibedakan
menjadi dua kategori atau kelompok. Kategori Pertama, arca megalitikum Pasemah
yang menggambarkan satu wujud rupa atau sosok tunggal, berupa seorang tokoh
manusia atau seekor hewan. Kategori kedua, arca megalitik Pasemah yang
menggambarkan lebih dari satu rupa atau sosok jamak, berupa manusia dengan
manusia, manusia dengan binatang, sedangkan binatang dengan binatang tidak
terdapat di Pasemah.
Arca Megalith Ibu Menggendong Anak
Arca ini menggambarkan seorang wanita (ibu) dalam
posisi berjongkok sedang mendukung anak dipunggung.
Arca Megalith Orang Menunggang Binatang
Keseluruhan arca ini memperlihatkan sikap
seseorang yang sedang duduk di atas seekor binatang.
Arca Megalith Orang Menunggang Kerbau
Arca ini dibuat dari
bahan batuan Brensi Vulkanik. Memperlihatkan seorang laki-laki sedang
menunggang seekor binatang menyerupai kerbau. Dilihat dari teknik pembuatannya,
agaknya pemahat berusaha menyesuaikan imajinasinya sesuai dengan bentuk batuan.
Bentuk keterampilan tersebut menunjukkan tingkatan yang lebih maju.
Arca Megalith Kepala pakai tutup kepala
Arca kepala ini menampilkan kesan keperkasaan
diperlihatkan oleh ekspresi wajah yang kuat, gambaran seorang prajurit. Arca
ini dibuat dari bahan batuan Tufa Kasar.
Arca Megalith Kepala Tanpa Tutup Kepala
Arca in dibuat dari bahan batuan Diorit.
Menggambarkan kepala arca berbentuk bulat dan tidak mempunyai rambut. Gaya
pahatannya bersifat statis, sehingga oleh para ahli dikategorikan ke dalam
kelompok tipe arca primitif.
Selanjutnya, kami diarahkan memasuki ruang
“Galeri Malaka” sesuai dengan namanya malaka tentu masih bersangkutan dengan
negara tetanga kita yakni Malaysia.
Galeri Melaka ini
menceritakan hubungan antara kerajaan Sriwijaya dengan kesultanan Melaka.
Galeri ini dibuat atas kerjasama Pemerintah Kota Palembang dengan Negeri Melaka
Kerajaan Malaysia. Disini dikisahkan bahwa seorang raja Sriwijaya bernama
Parameswara dari Palembang yang merupakan raja pertama yang membangun
Kesultanan Melaka.
Berikut foto berbagai
macam koleksi museum yang terdapat di galeri malaka
Setelah kami diceritakan
tentang Galeri Malaka di Museum Balaputra Dewa, kami diajak ke gedung ruang
pameran. Gedung ruang pameran sendiri terbagi jadi dua.
Pertama-tama kami diajak
memasuki gedung pameran 1 terlebih dahulu.
secara keseluruhan
menceritakan tentang masa kehidupan di jaman pra sejarah (kehidupan manusia
purba). Manusia purba pertama di pulau Jawa yaitu Pithecanthropus
erectus yaitu manusia purba yang berjalan tegak ditemukan oleh Eugene
Dubois. Di ruang pamer 1 telihat
berbagai lukisan, berbagai situs peninggalan hewan purba yang disebut Vitron
dan penemuan-penemuan berupa senjata prasejarah seperti kapak lonjong, ada juga
alat-alat dapur seperti lesung batu serta ada
juga beberapa patung dari masa megalitikum dan miniatur dari Goa Putri yang
lokasi aslinya di kabupaten Ogan Komering Ulu.
Koleksi - koleksi di Gedung Pameran I
Fosil Kayu Sungkai Tulang
Gajah dan Fosil Kerang
Batu Inti, Bahan
Alat, dan Artefak Sungai Kikim
Artefak Sungai Kikim ini
berbentuk oval, serta berwarna keabu-abuan. Pada bagian artefak terdapat
guratan-guratan yang tidak rata, mungkin bekas patahan. Artefak ini
diperkirakan telah berumur lebih dari 100 ribu tahun yang lalu. Fungsinya
sebagai senjata atau alat bela diri
Kapak perimbas Kapak Penetak
Kapak
Genggam Kapak
Lonjong
Beliung
Persegi
Pengerjaan beliung persegi dan kapak lonjong
dilakukan dengan cara penyerpihan segumpal batu atau langsung dari segumpal
batu yang sudah sesuai bentuknya. Setelah permukaan batu diratakan kemudian
barulah diupam halus, kecuali pangkalnya untuk tempat melekatnya tangkai.
Teknik ini disebut teknik “pukulan beruntun”
Fungsi dari kapak semacam ini adalah untuk menebang pohon, membuat perahu, membuat
patung kayu, sebagai perlengkapan upacara dan lain-lain.
Miniatur
Goa Putri
|
Di situs Goa Putri ditemukan sejumlah
alat-alat batu dan beberapa fragmen gerabah yang merupakan bukti bahwa di
tempat ini pernah dijadikan hunian yang berlangsung untuk beberapa periode
waktu, yaitu tingkat budaya paleolitik (masa berburu dan mengumpulkan makanan
tingkat sederhana) yang masih hidup di sekitar pinggiran sungai dan masih belum
menetap sampai tahap neolitik awal (sudah tinggal menetap dan mengenal
tekhnologi pembuatan gerabah). Di teras Goa Putri juga ditemukan sarana penguburan,
seperti serpih, fragmen gerabah, sisa-sisa motuska dan fragmen tulang-tulang
manusia serta fragmen tengkorak yang merupakan bukti bahwa goa ini juga
difungsikan sebagai tempat penguburan bagi manusia.
Kerangka manusia
Benda ini merupakan
sisa-sisa tulang manusia yang diduga hidup pada masa berburu dan mengumpulkan
tingkat lanjut. Pada masa ini mereka memilih goa-goa sebagai tempat tinggal.
Fragmen tulang manusia ini ditemukan di Desa Padang Bindu, Goa Pondok Salabe,
Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan.
Tempayan Kubur
Bahan dasar tempayan kubur terbuat dari tanah
liat yang digunakan sebagai sarana kubur primer (penguburan langsung), mayat
diletakkan dengan posisi jongkok (ditekuk) dan dipergunakan bagi orang-orang
terhormat. Usia (masa) tempayan kubur biasanya dapat ditentukan dengan melihat
benda-benda yang disertakan dengan tengkorak yang dikubur, seperti perhiasan
(cincin, gelang), binatang (kerbau, babi, bebek), senjata (kapak, tombak).
Namun, secara umum, tempayan kubur merupakan peninggalan masa bercocok tanam
atau masa perundagian.
Setelah
melihat-lihat koleksi pameran I, kami diarahkan masuk ke ruang pameran II
Pada
gedung pameran II, gedung ini memamerkan mulai dari masa Sriwijaya, masa
Kesultanan Palembang, masa kolonialisme, masa pendudukan Jepang, dan masa
revolusi fisik kemerdekaan. Materi koleksi yang dipamerkan berupa koleksi
realita, replika, peta, lukisan, dan foto-foto penunjang, dilengkapi dengan
caption, labeling, serta informasi penunjang lainnya
Adapun peninggalan masa Kerajaan Sriwijaya dan
Kesultanan Palembang Darussalam di Palembang adalah:
- Manik-manik
- Umpak batu
- Arca tablet tanah
liat
- Kapak arca
Awaloketiswara
- Fregmen acra
perunggu
- Kaki arca
- Dan lukisan abad 17
yang mengisahkan perang antara Kesultanan Palembang Darussalam melawan
Tentara Kolonial Belanda di depan Keraton Kuto Gawang (sekarang Pabrik
Pupuk Sriwijaya.
Koleksi-koleksi
di Gedung Pameran II
Prasasti-Prasasti
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya
Prasasti adalah sumber sejarah berupa tulisan
pada media benda atau artefak berbentuk tiga dimensi. Seperti batu, logam, kayu
dan sebagainya.
Prasasti dibandingkan dengan kronik-kronik
China maupun Arab merupakan sumber sejarah yang validitasnya lebih dapat
dipercaya.
Sampai saat ini tercatat ada 8 buah prasasti
yang telah diidentifikasi di Museum Bala Putra Dewa. Sedangkan jumlah prasasti
Sriwijaya yang ditemukan diwilayah Sumatera bagian Setatan jumlahnya sekitar 31
buah. Sebagian besar prasasti tersebut ditemukan di wilayah Palembang, yakni 23
buah prasasti.
Prasasti-prasasti yang merupakan koleksi
Museum Bala Putra Dewa, yakni prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuo,
Telaga Batu, Kota Kapur, Boom Baru, Bungkuk
(ditemukan di Lampung), Palas Pasemah (Lampung), dan Karang Berahi
(Jambi).
Manik-Manik dari Situs karang Agung
Manik-manik Karang Agung terdiri dari dua
jenis, yaitu batu dan kaca. Jenis batu yang digunakan adalah karnelian,
batu kristal dan batu putih buram). Jenis manik-manik ini berbentuk
kerucut ganda dan bulat tong. Diduga bentuk bulat atau tong adalah bentuk yang
lebih tua. Karnelian lebih disukai karena dipercaya memiliki sifat-sifat
magis.
Arca Avalokiteshvara
Replika arca Avalokiteshvara ini aslinya
terbuat dart batuan Andesit (disimpan di Museum Nasional). Arca dalam posisi
berdiri di atas asana tetapi sudah hilang, dan jari-jari kaki lurus ke depan.
Mempunyai empat buah tangan , tetapi 3 (tiga) diantaranya telah patah, yang
tersisa hanya tinggal tangan kiri belakang membawa sesuatu yang tidak jelas.
Menggunakan jubah di bawáh pusat sampai diatas mata kaki dan pada bagian tengah
kakinya diwiru. Rambut ikat keriting, panjangnya sebatas tengkuk, sebagian
terurai di atas bahu. Mata setengah tertutup, hidung mancung, mulut seolah
tersenyum dan lubang telinga panjang. Arca Avalokiteshvara ini diduga berasal
dari sekitar abad ke-9 Masehi.
Arca Bodhisattva Avalokiteshvara
Arca Budha ini disebut arca Bodhisatwa
Awalokiteswara digambarkan dalam sikap berdiri, tangan kirinya yang memegang
sekuntum bunga teratai, diangkat ke depan dada, tangan kanan kebawah, telapak
tangannya mengarah ke depan. Pakaian berupa kain polos. Panjangnya sampai mata
kaki, mahkotanya berbentuk silinder. Berdasarkan gaya seninya, arca ini berasal
dan sekitar abad ke-8 sampal dengan 9 Masehi.
Arca
Trimurti
Dalam agama Hindu, Brahma merupakan
salah satu dewa penting karena dianggap sebagai dewa pencipta. Arca Brahma ini
digambarkan dalam posisi berdiri diatas kendaraan (Wahana) seekor angsa yang
juga digambarkan bermuka empat sebagai simbol keempat Weda, yaitu menghadap ke
Timur Reg Weda bertangan empat yang melukiskan keempat arah mata angin. Tangan
kiri belakang membawa kendi dan tangan kanan belakang membawa tombak Sakti.
Wisnu termasuk kedalam Trimurti (tiga dewa utama dalam
agama Hindu) yang berperan sebagai dewa pemelihara. Dalam usahanya
untuk menolong manusia dalam kesukaran, Ia sering menjelma turun ke dunia
manusia, antara lain sebagai Krisna dan Rama.
Wisnu berkendaraan (Wahana) Burung Garuda. Aliran Waishawa adalah sebutan untuk aliran yang secara khusus memuja Wisnu. Wisnu digambarkan di atas pundak Garuda. Wisnu ini bertangan empat; tangan kiri depan memegang sesuatu yang tidak jelas, tangan kanan depan memegang Wajra, tangan kiri belakang memegang Sangkha bersayap, tangan kanan belakang memegang Cakra yang sudah hilang.
Wisnu berkendaraan (Wahana) Burung Garuda. Aliran Waishawa adalah sebutan untuk aliran yang secara khusus memuja Wisnu. Wisnu digambarkan di atas pundak Garuda. Wisnu ini bertangan empat; tangan kiri depan memegang sesuatu yang tidak jelas, tangan kanan depan memegang Wajra, tangan kiri belakang memegang Sangkha bersayap, tangan kanan belakang memegang Cakra yang sudah hilang.
Siwa adalah salah satu dari tiga dewa utama dalarn agama
Hindu yang paling tinggi kedudukannya. Siwa berperan sebagai dewa perusak.
Aliran yang secara khusus memuja Siwa disebut aliran Saiwa. Arca Siwa ini
berdiri di atas Wahana atau kendaraannya, yaitu Nandi. Wajah Nandi sangat
menyeramkan, bertaring, melotot dengan lidah menjulur keluar. Siwa memiliki
empat tangan, kedua tangan depan diletakkan di depan dada. Tangan kiri belakang
memegang busur yang telah patah, tangan kanan betakang memegang anak panah.
Mengenakan jatawakuta (hiasan rambut), kalung, gelang tangan, gelang kaki dan
selendang yang diselempangkan dibahu kiri.
Arca Narawahana
Arca perunggu ini menggambarkan susunan tiga
makhluk. Figur yang paling atas adatah singa, di tengah adalah Ghana dan paling
bawah adalah seekor gajah. Diduga arca ini merupakan sengkala memet, yaitu
candra sengkaia atau angka tahun dengan menggunakan gambar.
|
Kepala arca ini ditemukan di Situs Karang
Anyar, Palembang. Bahan terbuat dari perunggu padat berlapis emas. Arca berupa
kepala dengan mengenakan mahkota berbentuk jatamaruta. Rambut dipilin lurus,
mata setengah tertutup, mengenakan jamang berbentuk untaian mutiara. Arca ini
sebagai peninggalan masa-masa penyebaran agama Budha di Sumatera Setatan. Dari
bentuk dan tempat penemuannya diperkirakan berasal dan abad IX-XI Masehi.
Tombak Kesultanan Palembang
|
Naskah Islam
Naskah Ulu
|
Kitab-kitab jadul peninggalan Kesultanan Palembang
Darussalam.
|
Perlengkapan Pejabat Hindia Belanda
|
Setelah
selesai mengunjungi gedung pameran yang berada di dalam museum, kami diajak ke
samping kanan museum yaitu suatu tempat bagi sekelompok koleksi arca yang terdiri dari benda
peninggalan zaman Megalitikum dan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan.
Benda-benda itu berupa arca Megalit dan atribut agama Hindu maupun Budha.
Jumlah koleksinya ada 8 buah koleksi. 3 koleksi dari masa Kerajaan Sriwijaya
dan 5 koleksi dari zaman Megalitikum.
Arca Budha Tingkip
Arca
Buddha ditemukan di Desa Tingkip, Musi Rawas, Sumsel. Berdiri di atas asana
berbentuk Padmasamaganda mengenakan jubah tipis polos, serta memperlihatkan
sikap tangan Witarkamudra yang melambangkan sang Buddha sedang mengajar.
Berdasarkan kehalusan seni dan gaya pahatan yang ditampilkan arca ini mengikuti
gaya seni Dwarawati tetapi produksi lokal jaman Sriwijaya. Arca ini dibuat dari
batuan Andesit, sedangkan asana atau alas dari batuan Diorite.
Lesung Batu
Lesung batu ini terbuat dari batuan metamor
warna abu-abu. Lesung batu ini merupakan hasil kebudayaan megalith dan
kegunaannya selalu dikaitkan dengan kegiatan yang bersifat profan, yaitu
sebagai alat penumbuk biji-bijian. Namun, dilihat dari bentuknya tidak
memperlihatkan adanya tanda-tanda bekas pemakaian dan dapat pula dihubungkan
dengan tujuan yang bersifat sakral, yakni sebagai pelengkap pemujaan nenek
moyang.
Arca Batu Gajah
Koleksi arca Batu Gajah
ini terbuat dari batuan andesit porous. Arca ini berasal dari Desa Kotaraja,
Pagaralam, Sumatera Selatan. Keberadaan arca ini menjadi bukti akan tingginya
tingkat teknologi yang dicapai masyarakat, khususnya dalam seni pahat masa itu.
Arca Megalith dan Arca
Tablet Tanah Liat
Arca Nandi
Nandi adalah kendaraan atau wahana Dewa Siwa.
Bentuknya berwujud seekor lembu yang sedang mendekam. Nandi ini keadannya tidak
utuh lagi karena beberapa bagian telah patah seperti: kepala, kaki depan,
mulut, hidung, dan leher. Arca ini dibuat dari bahan batu pasir.
Arca Budha (unfinished)
Arca ini dibuat dari batuan Andesit yang
menggambarkan sebuah arca Budha yang belum selesai atau sempurna. Dilihat dari
ciri badan yang masih berbentuk pola dasar maka arca ini berkesan belum jadi
Palung Batu
Palung Batu ini digambarkan bersama dengan
arca seorang laki-laki yang sedang berbaring di sampingnya. Palung batu adalah
salah satu hasil dari tradisi megalith, kegunaannya adalah untuk menyimpan
tulang-tulang manusia yang sudah meninggal. Namun, memperhatikan palung batu
ini, terdapat kesan bahwa keberadaannya mengandung simbolis, yakni berfungsi
sebagai sarana dalam upacara ritual. Bahan palung dibuat dari batuan Tufa Ponyxri.
Setelah melihat-lihat koleksi arca, kami
diajak menuju bagian paling belakang dari Museum Balaputra Dewa untuk melihat Rumah
Limas. Rumah Limas sendiri mengandung nilai budaya dan historis. Hal ini
dapat dilihat dari bentuk arasitektur dan ragam hias yang erat kaitannya dengan
sistem kepercayaan, keperluan social, lingkungan, dan cara hidup masyarakatnya.
Rumah Limas koleksi Museum Balaputra Dewa pertama kali
dibangun pada tahun 1830 Masehi oleh Pangeran Syarif Abdurrahman Al-Habsyi
(Arif) sebagai tempat tinggal. Rumah ini kemudian dibeli oleh Pangeran Batun
dan dipindahkan ke Pemulutan. Selanjutnya dari Pemulutan oleh Pangeran Punto
dipindahkan ke Talang Pangeran. Kemudian rumah ini menjadi milik pemerintah
Belanda, dan pada tahun 1932 dipindahkan ke Palembang diletakkan di belakang
kantor waterleiding (menara air) atau sekarang kantor Walikota
Palembang. Pada tahun 1933 rumah ini dijadikan museum oleh Pemenintah Belanda
yang dikenal dengan sebutan Museum Rumah Bari.
Pada tahun 1985, setelah berdirinya Museum Balaputra
Dewa, Rumah Limas ini dipindahkan ke halaman belakang Museum Balaputra Dewa dan
menjadi koleksi terbesar yang dimilikinya
Untuk memasuk Rumah Limas harus melalui tangga. Jumlah
anak tangganya lazimnya ganjil. Karena menurut kepercayaan orang
Patembang, jumlah ganjil ini akan membawa keberuntungan.
Ruangan paling depan pada rumah limas disebut Pagar
Tenggalong. Pada ruang bagian depan ini biasanya digunakan sebagai ruang
tamu atau ruangan tunggu yang disebut dengan Pamarekan, dan tingkatan
lantainya dinamakan sebagai Kekejeeng sedangkan untuk lantai disebut Bengkilas.
Ruangan dalam teratas bengkilas disebut Pedalon, ditopang oleh
tiang-tiang mulai dari atap terus sampai ke tanah. Konon tiang-tiang tersebut tidak
boleh disambung karena ruang tersebut juga merupakan tempat utama apabila
berlangsung upacara adat. Pada dinding pedalon kiri dan kanan dilengkapi dengan
lemari yang disebut gerobok leket atau gerobok senyawo. Lemari tersebut pada bagian atas sampai ke bawah diberi kaca tembus
pandang. Pada bagian bawah diberi ukiran dengan motif peradoo (kuning emas)
Di ruangan berikutnya terdapat
amben, tepatnya terdapat di ruangan keluarga. Jika di dalam ruangan terdapat
sebuah amben maka di hadapannya terdapat beleek jeroo yang digunakan
sebagai kamar tidur. Beeleek jeroo ini juga digunakan sebagai kamar tidur untuk
pengantin. Bedanya dengan beleek jeroo, ruang pengantin tersebut dilengkapi
dengan berbagai hiasan sebagai pelengkap upacara yang disebut pleeseer, yang
dipasangkan pada bagian atas dinding. Di bawah ruangan amben digantungkan
gegembong dalam jumlah banyak.
Beeleek Jeroo
Kamar Pengantin
Melalui
pintu belakang ruangan Pedalon sebuah rumah limas akan ditemukan bangunan
belakang (Buri) yang disebut ruang makan (Garang). Garang ini juga berfungsi
sebagai pawon atau dapur. Pada umumnya panjang dapur tersebut sama dengan lebar
rumah. Satu
hal yang tidak ditemukan adalah kamar mandi, karena pada masa lalu masyarakat
umumnya memanfaatkan sungai sebagai sarana tersebut.
Pada
serambi belakang rumah limas melewati pintu garang, terdapat sebuah jembatan
yang berfungsi sebagai penghubung antara rumah limas yang satu ke rumah
limas yang lain. Jembatan ini terdapat atap dan railing di sisi kanan
dan kiri.jembatan ini dinamakan doorloop.
Ciri khas dari Rumah Limas Palembang adalah pada bagian
depan tampak sebuah pintu yang disebut Lawang Kereng/ pintu kipas/ ciam yaitu
jalan masuk ke ruang dalam. Pintu tersebut dapat diangkat. Ciam tersebut cukup
berat jika diangkat ke atas, karena selain digunakan sebagai pintu juga
berfungsi sebagai plafond.
Pada masa lalu membuat Rumah
Limas pintunya tidak menggunakan engsel dan pada umumnya tidak menggunakan paku melainkan
menggunakan kayu kecil yang diselipkan diantara papan/kayu yang disebut pasak sehingga memudahkan membongkamya
kembali apabila ingin dipindahkan. Dalam pembuatan rumah ini juga dipilih
kayu-kayu berkelas seperti kayu unglen/ulin (tiang), tembesu, merawan, meranti
(lantai dan dinding), seru (atap), yang kini semakin sulit didapat dan berharga
mahal.
Kemudian yang khas adalah dari
ciri atapnya yang kental dengan nuansa jawa-cina. Bentuk yang cenderung datar
dan berbenntuk piramid dilengkapi dengan hiasan seperti kuku dan mahkota. Kuku-kuku
di kanan dan kiri bubungan atap disebut dengan "TANDUK KAMBING" atau
juga "DAUN PANDAN".
Sementara mahkota yang ditengah-tengah bubungan rumah
disebut "SIMBAR" atau juga "TANDUK MENJANGAN" yang melambangkan
sifat masyarakat Palembang yang mandiri.
Selain Rumah Limas terdapat pula Rumah
Bergajah yaitu tempat orang-orang terhormat. Lalu terdapat Rumah
Hulu/Rumah Anti Gempa yaitu rumah yang tiangnya tidak ditanam namun hanya menggunakan
batu yang dijadikan sebagai penyanggah dan lantainya menggunakan bambu.
Rumah ini memiliki bobot yang ringan, dinding yang bisa dibuka dan tidak
memiliki jendela. Rumah ini sendiri ditemukan di daerah Asam Kelat.
Yang menjadi kebanggaan tersendiri untuk saya
yaitu gambar Rumah Limas koleksi Museum Balaputra Dewa telah
diabadikan dalam uang Rp. 10.000
Kesimpulan : Secara keseluruhan koleksi Museum Balaputra Dewa
terdiri dari prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya, benda-benda peninggalan
Kerajaan Sriwijaya, benda-benda peninggalan Kesultanan Palembang Darussalam,
sejarah perang kemerdekaan di Sumatera Selatan dan benda-benda kebudayaam dari
Sumatera Selatan. Dari koleksi-koleksi yang ada di Museum Balaputra Dewa
memperlihatkan bahwa Kerajaan Sriwijaya pernah menjadi pusat Agama Budha yang
terkemuka di dunia pada masa jayanya. Begitu banyak arca yang
menggambarkan Budha yang ditemukan di provinsi Sumatera Selatan yang kemudian
menjadi bagian koleksi Museum Balaputradewa. Di bagian belakang museum
terdapat bangunan khas Palembang yaitu Rumah Limas. Di bagian samping
ruang pamer terdapat patung-patung yang mengambarkan budha dari berbagai situs
dan diduga merupakan situs Kerajaan Sriwijaya. Salah satu patung atau
arca yang paling terkenal dan sangat menarik perhatian pengunjung adalah patung
orang menaiki gajah yang merupakan peninggalan era megalitikum di Sumatera
Selatan tepatnya dari dataran tinggi Basemah/Pasemah (Pagaralam, Lahat, Oku,
Bengkulu/curup). Masyarakat setempat menganggap bahwa patung orang
menunggang gajah tersebut adalah salah satu kutukan yang benar-benar terjadi
dari kisah legenda masyarakat setempat yaitu Legenda Si Pahit Lidah.
Legenda Si Pahit Lidah mengisahkan bahwa siapa saja yang dikutuk olehnya akan
menjadi batu